Jumat, 23 November 2012

Hikayat Burung Cenderawasih


Hikayat Burung Cenderawasih
Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.
Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara dengan panggilan Burung Cenderawasih. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China. Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of Paradise‘.
Secara faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya adalah satu tuah. Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa generasi yang mewarisi burung ini.
Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang memburunya kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih sahaja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya sebagai pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, tuah. [Phoenix/infokito].
Unsur intrinsik pada Hikayat 1 :
1. Tema                               : Hikayat Burung Cendrawasih.        
2. Seting                
a. Tempat                     : Papua di Indonesia .
b. Waktu                      : Siang hari.
c.Suasana                     : Menakjubkan.
3.Alur                                 : Mundur.
4.Penokohan                      
a.Protagonis                : Burung Cendrawasih.
b.Tritagonis                 : Para wali.
c.Figuran                     : Kaum Kewrabat Istana.
5.Amanat                            : Burung Cendrawasih sangat bermanfaat sebagai pelaris.
6.Sudut pandang                : Serba tahu.
7.Gaya bahasa                    : Majas.
Unsur Ekstrinsik                   : Bernilai pendidikan,nilai sosial,nilai keagamaan,nilai budaya.

Hikayat Gunung Tidar Dan Tombak Kiai Panjang


Hikayat Gunung Tidar Dan Tombak Kiai Panjang

Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang tiada seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya.
Maka berkumpullah para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini. Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun, tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala tentara hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini tetap gagal.
Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat Tanah Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Paku raksasa yang ditancapkan itu konon dipercaya sebagian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak.Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, Gunung Tidar pada mulanya hanya ditinggali oleh para jin dan setan yang konon dipimpin oleh salah satu jin bernama Kiai Semar. Kiai Semar tidak sama dengan tokoh Semar dalam dunia pewayangan. Kiai Semar yang menguasai Gunung Tidar ini konon jin sakti yang terkenal seram. Setiap ada manusia yang mencoba untuk tinggal di sekitar Gunung Tidar, maka tak segan Kiai Semar mengutus anak buahnya yang berupa raksasa-raksasa dan genderuwo untuk memangsanya.
Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal berani untuk mencoba membuka wilayah Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini berasal dari tanah jauh. Konon ia berasal dari negeri Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani Syekh Jangkung. Kedua syekh ini disertai juga oleh tujuh pasang manusia, dengan harapan dapat mengembangkan masyarakat yang kelek mendiami wilayah itu.
Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka. Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai Semar, dan tiada seorangpun yang selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar. Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar.
“Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah engkau dan apa maumu berada di wilayah ini,” kata Kiai Semar.
“Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah olehmu bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri Turki nun jauh di sana. Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku akan tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan tenang.
“Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal di sini. Jika tiada peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian tanpa sisa.”
“Hai engkau yang mengaku sebagai penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada yang dapat melebihi kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan memelihara alam semesta ini, bukan untuk menguasainya secara semena-mena,” kata Syekh Bakir.
“Hei manusia, sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir terdiam.
Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu mengalah. Tetapi bukan berarti ia menyerah kalah. Tetapi sebaliknya Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan Kiai Semar dan bala tentaranya.
Sesampai di negeri Turki, ia mengambil sebuah tombak sakti yang bernama Kiai Panjang. Selain itu, iapun menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang akan diajak serta untuk membuka tempat tinggal baru di Tidar.
Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang manusia yang diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal dengan nama desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna “turunan”. Ada yang mengatakan arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara waktu.
Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemadi. Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar dan wadyabalanya.Merekapun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat tinggal baru di Gunung Tidar dan sekitarnya.
           
Unsur-unsur intrinsiknya :
     1. Tema                              : Gunung Tidar Dan Tombak Kiai Pajang.
2. Seting                   
a. Tempat                     : Gunung Tidar, hutan.
b. Waktu                      : 40 hari, siang dan malam hari.
c.Suasana                     : Menegangkan, Menakutkan.
3.Alur                                 : Maju.
4.Penokohan
a.Protagonis                : Syekh Bakir ,Syekh Jangkung.
b.Antagonis                 : Kiai Semar.
c.Tritagonis                 : 7 pasang Manusia.
d.Figuran                     : Masyarakat, jin, mahluk halus, sahabat Syekh Bakir.
5.Amanat                            : Janganlah menjadi Orang yang serakah.
6.Sudut pandang                : Orang ke tiga.
7.Gaya bahasa                    : Majas, peribahasa.

Usur-unsur ekstrinsiknya     : Bernilai pendidikan, nilai sosial, nilai keagamaan.

Hikayat cabe rawit



Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri.
Malam itu,. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya.
Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe
Cabai rawit  mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi pada pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut.

Unsur-unsur intrinsiknya:
1. Tema                               : Cabe rawit.
2. Seting                   
a. Tempat                     : Pasar, jalan
b. Waktu                      : Malam hari, Pagi hari.
c.Suasana                     : Tegang,Menyedihkan
3.Alur                                 : Maju.
4.Penokohan
a.Protagonis                : Sahdan(ibu cabe rawit), Ayah cabe rawit.
b.Antagonis                 : Cabe rawit.
c.Tritagonis                 : Pedagang.
d.Figuran                     : Penduduk, Hatta.
5.Amanat                            : -Bersabarlah meski mendapat cobaan seberat apapun, dan slalu   berusaha dan berdo’a.
                                             -Jangan mengambil sesuatuyang bukan menjadi hak kita.
6.Sudut pandang                : Orang ke tiga.
7.Gaya bahasa                    :  Peribahasa, Majas.

Usur-unsur ekstrinsiknya     : Bernilai pendidikan, nilai sosial.

Fabel Buaya Perompak


Fabel Buaya Perompak

Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.
Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya.
           
Unsur-unsur intrinsiknya:
1. Tema                               : Buaya perompak
2. Seting
a. Tempat                     : Sungai, gua
b. Waktu                      : Berhari
c.Suasana                     : Mengagumkan, tegang.
3.Alur                                 : Mundur.
4.Penokohan
a.Protagonis                : Aminah,
b.Antagonis                 : Buaya ( Somad)
c.Tritagonis                 : Orang yang mencari rotan dihutan
d.Figuran                     : Warga
5.Amanat                            : -Tetaplah berusaha meski belum membuahkan hasil.
                                             -Jangan suka merampas hak milik Orang lain          
6.Sudut pandang                : Serba tau
7.Gaya bahasa                    : Peribahasa.

Unsur-unsur ekstrinsiknya: Bernilai sosial, nilai pendidikan, nilai keagamaan.